Merayakan Kerinduan

Aku selalu tahu bahwa Natal tahun ini tidak akan mudah. Aku terlalu terbiasa merayakan Natal bersama keluarga dengan berbagai tradisinya. Dan ketika harus sendirian di negeri yang asing ini, aku seperti linglung. Walau suasana natal disini jauh lebih kental dengan lagu dan hiasan natal dimana-mana, semua terasa asing. Masyarakat di Belanda merayakan natal sebagai bagian dari kebudayaan, bukan kepercayaan. Jadi meski semarak, semua terasa dangkal. 

Aku merindukan Natal yang hangat bersama keluarga dan sahabat terdekat. Seperti tahun-tahun sebelumnya.

Tapi justru karena kondisi, tahun ini aku meresapi arti merayakan Natal bersama Yesus Kristus. Menikmati relasi dengan Dia yang Maha Hadir, selalu ada di setiap waktu. Dalam kesendirian dam keramaian. Dalam ketenangan dan hiruk pikuk. Dalam kesepian dan kepenuhan.

Aku mendiamkan diriku dari kemeriahan Natal, meresapi apa artinya Yesus Kristus lahir untukku. Apa artinya ‘Immanuel’, Tuhan beserta kita. Apa artinya ‘longing’, menantikan kedatangan-Nya yang kedua. 

Natal tahun ini sungguh berbeda, tapi aku sungguh mensyukurinya.

Soli Deo Gloria.

171223

Appreciating aloneness

Today, I return to the old routine after almost three weeks of living as a nomad as I traveled around some cities in the UK and Europe. I went to London, Edinburgh, Glasgow, Brussels, Paris, Milan, and Berlin. I traveled across UK (almost) alone, then had a group travel with my best friend a.ka Kak Bebeth and her husband, Gohan. A fantastic journey, indeed. We visited a lot of beautiful places and remarkable landmarks. We returned to the Netherlands two days ago; today, they’re returning to Jakarta. So here I am, back being alone after almost 2 weeks of living together with them.

I have been staying in the Netherlands for 3 months and 2 weeks. Before living alone here, I always lived with my family. Being alone at home (which happens only when my mom and brother are not home) is rare. Therefore, I appreciate the opportunities to be alone at home because of the only available space. I’m an extrovert, but sometimes I really enjoy being alone. This is also why I decided to live in a studio apartment with no housemate.

When I arrived at my apartment in the Netherlands, I felt so liberated. I have all the space and time for myself, free to do whatever whenever I want to. I thought to myself that maybe I was not that extrovert after all, for I loved living alone.

But when I traveled in the UK alone, the loneliness crept in. When I walked back to my accommodation at night, I got scared. I’m afraid to get lost. I’m afraid of strangers or bad people. I’m scared to get sick or hurt. Hence, traveling with friends would be a better idea. At least you have someone to get lost together.

That’s why I was thrilled to travel across Europe with Kak Bebeth and Gohan. I felt safe and secure. However, when traveling in a group, we have to consider others. Adjustments and compromises should be made to have a harmonious and smooth travel. I was so lucky to have Kak Bebeth and Gohan as my travel companions, who were very considerate to me since I had to finish 2 writing assignments while traveling. But I realize that traveling in a group is kinda tricky, especially if you don’t get along with your travel companion. And as much as I love being together with Kak Bebeth 24/7, I still long for aloneness and personal space.

I reflected on this experience and found a bigger picture.

I’ve been single all of my life, and I long for a spouse. I want to share my life together with someone who enjoys my companion and who companion I enjoy. It would be amazing to have someone to spend your time with and defeat loneliness. But from these past week’s experience, I realize that maybe, just maybe, when that time comes, when I finally find the one I will spend the rest of my life with, I may long to enjoy aloneness.

Thus, I will enjoy now. I will appreciate and enjoy this season of singleness and aloneness. I don’t know about tomorrow, but I will try my best to be content being alone today.

Semoga Tuhan menolong saya.

091223

Terakhir Kali (?) tentang (KK) REFIVE

Randomly baca ulang blog ini, dan menemukan fakta wow bahwa hampir setiap tahun sejak 2017 gue menulis tentang KK REFIVE di blog ini:

  • Cerita tentang REFIVE (30 Juni 2017)
  • PKK Posesif (29 April 2018)
  • Jangan Bersedih (4 Agustus 2020)
  • Tentang Kemustahilan Menghibur Orang yang Berduka (7 September 2020) 
  • Mengapa Sedih? (29 Mei 2021)

Agak dangdut memang, tapi mengingat jumlah postingan blog gue setiap tahun tidaklah banyak, maka dapat dipastikan bahwa KK REFIVE mengambil porsi yang cukup banyak dalam kehidupan gue over the years. Jangan tanyakan mengapa, karena ku juga tidak tahu wkwkwk tapi yang jelas, kelakuan serta apa yang terjadi pada kehidupan Ali, Alvin, Gilbert, Reinaldo, dan Yosep punya dampak dalam kehidupan seorang Mbak Lidya Corry. Misalnya ketika Ali jadi MC Paskah PO UI dan saya tidak tahu sehingga tidak datang; atau ketika tidak bisa datang sidang Gilbert dan Reinaldo karena tidak bisa cuti kerja; atau ketika mama-nya Gilbert meninggal dunia; atau ketika Yosep berangkat ke Manado (dan kemudian ke Melbourne); serta tentu saja ketika sesi KK batal karena banyak yang cancel mendadak (LOL). Walaupun saya berusaha cool dan seolah tak acuh, I DO CARE. A LOT bahkan wkwk tapi gue berusaha tidak menunjukan / membatasi penunjukan (?) kepedulian tersebut karena tidak mau terlihat clingy / posesif / burdensome. Belum lagi ditambah fakta bahwa adik-adik AMAT SANGAT CUEK jadi tidak mau mengerahkan terlalu banyak effort supaya tidak terlalu kecewa xixixixixi :3 ya begitulah

Melihat delapan tahun kebelakang, dengan segala dinamika dan karakter para pihak dalam kelompok kecil ini, rasa-rasanya hampir mustahil KK Refive bisa bertahan kalau bukan karena intervensi ilahi. Berkali-kali rasanya ingin sekali menyerah, tapi perasaan dikejar-kejar dan dikasihi membuat gue tetap bertahan. Bukan hanya itu, pertumbuhan gue sepanjang menjadi seorang PKK membuat gue sadar bahwa gue butuh kelompok kecil ini. Bagaimana tidak; gue yang control freak ini harus berhadapan dengan adik-adik yang “tidak bisa diatur”, dan entah mengapa justru gue yang malah diubahkan. Mengelola adik-adik kelompok kecil dalam KK ini mampu memberikan gambaran kepada gue bahwa kalau gue tidak berubah, gue akan menjadi emak-emak batak yang otoriter dan clingy kepada anak-anak saya di masa depan wkwkwk

Setelah tahun demi tahun berlalu, KK Refive telah melewati berbagai kejadian dan dinamika di dalam kelompok kecil: bosen, ngambek (gue maksudnya wkwk), pertengkaran, hilang dan out-of-reach, losing faith, dst dst dst; but eventually we survived…. sampai kesibukan dunia alumni menggerus kami. Satu per satu menjadi sangat sulit untuk make time for KK sehingga terpaksa melewatkan sesi demi sesi KK. Gue tidak marah karena gue sadar bahwa memang kesibukan pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang dapat dihindari. Cepat atau lambat, akan sangat sulit bagi kami menemukan konsensus waktu.

Di tahun keempat sampai keenam KK Refive, gue sangat-sangat obsesif dengan KK ini. Buat gue, KK Refive adalah pride gue. Karena itu, KK Refive bubar / hiatus adalah nightmare. Sekuat tenaga gue tetap berusaha mempertahankan kelompok kecil ini. Tapi seiring waktu berlalu, gue makin menyadari bahwa tidak mungkin gue memaksa semua orang tetap hadir seperti “biasa” di tengah hidup yang terus berjalan dan berubah. Selain itu, energi gue untuk “mengikat dan menarik” semua anggota juga semakin berkurang. Oleh karena itu, memasuki tahun kedelapan ini, entah kenapa gue merasa “siap” kalau ternyata memang sesi kelompok kecil rutin bulanan sudah tidak mungkin lagi dilakukan. 

Akhirnya di Bulan April 2023 setelah menyelesaikan bahan pendalaman Alkitab “Uncover Mark”, gue memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan bahan PA dengan KK Refive. Keputusan yang gue doakan selama sebulan ini tidaklah mudah dan diiringi momen-momen nangis dangdut sendirian wkwkwk Gue yang sudah merasa siap dan memprediksi bahwa saat ini akan datang sejak dua tahun lalu ternyata tetap terkejut menghadapi semua ini.

BUT HOWEVER, sebenernya tujuan blog post ini adalah menjadi monumen kasih karunia Tuhan buat KK Refive yang menyertai perjalanan kelompok ini sejak 8 Oktober 2014. Gue bersyukur kepada Tuhan untuk KK Refive: untuk setiap Firman Tuhan yang dibahas bersama, untuk setiap pertumbuhan iman dan karakter, untuk setiap cerita hidup yang dibagikan, untuk setiap momen kocak, untuk setiap perubahan yang terjadi dalam diri kami masing-masing, untuk setiap sesi nangis-nangis bombay, untuk setiap doa, dan untuk setiap kesaksian. Gue berharap hidup yang gue bagikan selama delapan tahun kebelakang menjadi kesaksian yang menolong Ali, Alvin, Gilbert, Reinaldo, dan Yosep untuk tetap setia mengikut Tuhan sampai akhir hidup mereka. 

Dan ingatlah kawan-kawan, meski kita tidak lagi rutin bahas bahan setiap bulan, KK kita bukan bubar. Kita hanya hiatus sampai waktu yang belum ditentukan hehehe. Sampai jumpa di waktu pemeliharaan Tuhan di depan!

O may all who come behind us find us faithful,

May the fire of our devotion light their way.

May the footprints that we leave, lead them to believe,

And the lives we live, inspire them to obey.

O may all who come behind us find us faithful.

(Find Us Faithful oleh Steve Green)

300523

Self-appreciation

You did great, Mbak Lidya. Congratulation on predicted that this time would come, and able to took a route back before everything is too late. Running away is also a skill, you know. Thank you for running away from denial and taking full responsibility of your own happiness. I’m so grateful that you decided to stop being naive and moving on right on time. I could not imagine how chaotic todays would be if you faked your heart and denied your weakness. But look at you now, looking good as ever, standing tall and sure of everything that happened in the past, and becoming the chief of your own happiness.

Thank you for not breaking down and remain hopeful. Remember, good thing comes for those who wait. Happiness will come for you eventually, because you deserve it.

I love me hehe

210523

Menghitung Tahun

Tahun demi tahun yang ku hitung

Berlalu

Tapi wajahnya selalu hadir

Kadang cahaya wajahnya pudar, dan hidup berjalan seperti baik-baik saja

Di waktu lain, kelam datang menghampiri

Menyeretku pada derai air mata dan pertanyaan yang tidak terjawab

“Apa yang harus aku lakukan bila aku rindu?”

“Bagaimana aku melewati hidup tanpa kehadiranmu?”

Bahkan setelah bertahun-tahun aku menghitung, aku tidak pernah kehilangan angkanya

Sakitnya sama, pedihnya serupa

Bahkan setelah bertahun-tahun aku menghitung, harapannya tetaplah agar kau masih disini

Berharap semua ini tidak pernah terjadi

Dan aku masih bisa melihat sosokmu

Mendengar suaramu

Memegang tanganmu

Tapi yang tersisa hanya sesak di dada

Hari ini aku hanya ingin berkata

Aku masih mengitung tahun demi tahun yang kami lewati tanpa hadirmu

Hari ini aku hanya ingin berkata

Aku rindu.

24.01.23

“Pak, aku harus apa kalau aku rindu?”Pertanyaan yang sama hampir enam tahun lalu, juga masih aku tanyakan hari ini.

“Bagaimana aku bisa hidup tanpa bapak?”Aku memang masih hidup hari ini, tapi lubang hitam itu selalu ada.

Kehadiran Bapak sangat signifikan dalam hidupku, jadi ketika dia pergi, semua tidak akan pernah menjadi sama. Kenyataannya aku memang belum bisa sepenuhnya berkata bahwa aku baik-baik saja tanpa bapak, seperti janjiku di ICU waktu itu. Kadang aku ikhlas, kadang aku masih bertanya-tanya, tapi kebanyakan waktu aku hanya rindu. Rindu yang tidak akan bisa dipenuhi sampai nanti kami berjumpa di keabadian.

Pak, aku rindu. Rinduuuuuu banget sampai gak tahu harus ngapain. Kadang aku sedih karena kayaknya iblis menggunakan rasa rindu ku sama bapak untuk membuatku merasa Tuhan jahat dan tidak adil. Kadang aku bingung, bertanya-tanya normal gak sih kangen sampe ambyar begini. Orang suruh aku berdoa, oke aku berdoa dan bisa tenang. Tapi besok gitu lagi. Kadang aku capek, gak pengen sedih-sedih-in bapak. Tapi aku gak mau lupain bapak. Jadi kalo rindu dan sedihnya datang, ya sudah aku puas-puasin aja nangisnya. Kadang 15 menit, kadang setengah jam, tapi seringan satu jam. Gatau sehat apa engga kayak gini. Tapi yaudah, namanya orang kangen tapi gak kesampean.

Udah lah ya. Udah malam, aku mau tidur dulu.

2022Wrapped and The Story Untold

Kesempatan demi kesempatan di tahun 2022

2022 is such a blessing. Setelah 2020 dan 2021 yang terasa berat dengan segala kerja keras dan anxiety-nya, Tuhan memberikan 2022 yang penuh kesempatan menikmati sukacita surgawi rasa duniawi.

Pertama, kesempatan-kesempatan dalam pekerjaan. Setelah 2021 yang diawali dengan anxiety disorder karena pekerjaan, saya belajar membangun pandangan yang benar tentang pekerjaan, menetapkan boundaries, mengambil waktu istirahat, and not punishing myself too much for slacking. Resiliensi yang terbangun setelah surviving 2021 benar-benar menolong saya untuk bersukacita di tengah setiap tekanan dan beban pekerjaan yang (surprisingly) lebih berat di tahun 2022 ini. Hal lain yang sangat sangat disyukuri adalah kesempatan mengerjakan hal-hal yang “keren”. Saya masih ingat dua tahun lalu cerita sama Kak Bebeth karena merasa kecewa tidak dipercayakan untuk mengerjakan hal-hal yang sifatnya substansial, dan malah diminta mengerjakan urusan administrasi keuangan. Saya tahu setiap pekerjaan berharga di mata Tuhan, tapi saya merasa frustasi karena tidak bisa  belajar banyak ataupun menggunakan pengetahuan saya. Karena itu meski pun tahun ini lumayan otak dimana badan dimana (saking banyaknya kerjaan), but I enjoyed and grateful for every single bit of it. 

This image has an empty alt attribute; its file name is 1d38ff77-6a1c-4674-a012-1a07c52f7832-2.jpg

Kedua, kesempatan untuk explore. Seperti lagu Try Everything-nya Shakira, tahun ini saya mencoba SEMUA HAL yang ingin saya lakukan sebelumnya: solo traveling, naik gunung, potong rambut pendek + keratin treatment, dan nonton konser. Hal yang paling disyukuri dari proses ini adalah kenyataan bahwa saya punya uang untuk melakukan semua hal itu HAHAHAHAHA Tidak bisa dipungkiri, gaji saya tidak besar; jadi ketika ada budget yang bisa digunakan untuk hal-hal ini tentu adalah berkat pertolongan Tuhan yang melimpahkan berkat dan rejeki dengan cara-Nya yang ajaib. Kesempatan mencoba berbagai hal ini bukan hanya menambah sukacita di tahun ini, tetapi juga memberikan pengalaman dan pelajaran yang berharga.

Ketiga, kesempatan untuk merasakan mimpi menjadi kenyataan. Seperti yang sudah saya ceritakan ketika lulus LPDP, mendapatkan kesempatan untuk lanjut S2 di luar negeri dengan beasiswa has been my dream since forever. Setelah kehilangan papa dan menjadi PNS, saya hampir-hampir saja mengubur keinginan lanjut sekolah itu. Saya bersyukur Tuhan memberikan keberanian kepada saya untuk kembali bermimpi di tahun 2021, dan tentunya mengeksekusi keberanian dan rencana itu di tahun 2022. Bagi saya, betapa smooth-nya proses daftar kuliah dan beasiswa di tahun 2022 adalah bukti nyata bahwa ini semua pekerjaan Tuhan. Rasanya masih tidak bisa percaya bahwa Lidya Corry akan berangkat kuliah S2! :’)  

The Story Untold

Meski demikian, tentu saja hidup selama 2022 (dan di tahun 2023 mendatang) tidaklah easy peasy lemon squeezy. Banyak cerita-cerita yang tidak diceritakan ke publik, kadang karena malu, kadang karena tidak tahu mau cerita ke siapa. 

Pertama tentang dosa dan duka. Hal yang paling prominent terasa ketika saya jauh dari Tuhan adalah betapa mudahnya dosa dan duka masuk. Pada masa-masa itu, jatuh ke dalam dosa seperti rutinitas harian yang disesali tapi keesokan harinya masih dilakukan lagi. Saya merasa begitu lemah dan defenseless terhadap dosa, yang akhirnya membuat saya marah / benci terhadap diri sendiri, dan itu tidak menolong saya untuk melawan dosa sama sekali. Bersyukur tahun ini saya belajar buku “Pursuit of Holiness” bersama beberapa teman, yang AMAT SANGAT menolong saya melihat realitas dosa serta memperbaiki cara pandang saya akan dosa dan keberdosaan saya.

Hal lain yang dijadikan alat iblis untuk menyerang saya adalah duka karena kehilangan papa. Its been 5 (almost 6) years passed, but sometimes I just don’t know how to handle the pain when I miss him. This year, the grief feels pretty strong and frequent that I find myself went to his grave alone to cry. I miss him so bad, and the devil knows. Saya bisa merasakan iblis masih berusaha “meyakinkan” saya bahwa Tuhan salah dan jahat telah mengambil papa dari kami. Apparently, the battle has not done and I still have to stay alert. Cukup mengejutkan bahwa setelah begitu banyak kebaikan yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan saya, perasaan “Tuhan tidak adil” masih bisa muncul. Ini membuktikan betapa fraigile-nya iman saya dan betapa saya sangat memerlukan belas kasih Tuhan; seperti lagu “He Will Hold Me Fast”-nya Keith & Kristyn Getty:

I could never keep my hold

Through life’s fearful path

For my love is often cold

He must hold me fast

Kedua tentang relasi. Saya bersyukur bahwa di tahun keenam setelah lulus kuliah, saya masih menikmati persekutuan yang dalam dan indah. PO FHUI, KK REFIVE, dan KTB Pursuit of Holiness adalah pemberian baik dari Tuhan yang membuktikan bahwa Ia hadir dalam hidup saya melalui orang-orang yang mengasihi saya. Meski demikian, ada masa-masa saya sadar bahwa semua ini tidak akan bertahan selamanya. Momen pernikahan dan keberangkatan Kak Bebeth a.ka ma bestest pren untuk lanjut kuliah S2 ke Inggris tahun ini menyadarkan saya bahwa teman dan sahabat pun akan berlalu karena we all have our own life to live. Kenyataan itu cukup membuat saya bertanya-tanya: akan siapkah saya menjalani hidup saya tanpa dikit-dikit mengadu kepada handai taulan hehe Dari kuliah, saya punya banyak sekali orang baik dalam kehidupan saya yang saya bisa cerita apapun dan kapan pun. Saya punya go-to-persons yang siap menampung segala sambatan, julidan, dan ghibahan saya.  Namun semakin waktu berlalu, lingkaran itu semakin kecil dan topik ceritanya juga semakin terbatas. Jujur sebenarnya tahun ini saya mulai merasakan ketakutan untuk bercerita kepada orang lain tentang pergumulan saya, despite begitu banyaknya circle pergaulan saya. Saya mulai memilih dan memilah cerita apa yang bisa diceritakan dan kepada siapa saya bisa menyampaikan cerita itu… kadang sampai akhirnya tidak jadi cerita ke siapa-siapa :’) Bukan karena tidak percaya, tapi saya hanya tidak mau menambah beban kehidupan orang lain. Saya merasa cerita saya terlalu remeh / ringan, sehingga akhirnya saya pendam sendiri. Tapi saya bersyukur untuk KTB baca buku Pursuit of Holiness yang menolong saya mellihat bahwa cerita saya berharga dan mau mendengar cerita-cerita yang saya kira remeh temeh itu hehe 

Akhirnya di tahun ini saya kembali diingatkan berharganya relasi dan orang lain dalam kehidupan saya. Saya yang “si-paling-independen” ini akhirnya sadar bahwa saya butuh orang lain untuk setidaknya mendengarkan cerita saya, memvalidasi ketakutan/kekhawatiran saya, dan berdoa bersama saya. Therefore, I realised that I long for someone that will have no choice but to listen to my grumbling for the rest of his life HAHAHA (and vice versa ofkors) Tentu ada banyak alasan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup di hadapan Tuhan, tapi setidaknya saya punya satu lagi tambahan alasan mengapa menikah.   

Do Not Fear

Terlepas dari segala kekhawatiran atau pergumulan yang dihadapi di tahun ini maupun di tahun-tahun mendatang, saya menikmati menjalani semuanya bersama Tuhan Yesus: The One who never failed me. Dia yang senantiasa setia memelihara dan menyediakan, despite all of my grumbling and disobedience. Dia yang selalu hadir di setiap momen kejatuhan. Dia yang mendengar doa dan mewujudkannya tepat pada waktunya. Dia yang memberikan saya hidup dengan segala kelimpahannya.

Di akhir tahun ini, saya belajar satu lagu yang lirik bait ketiganya menutup 2022 dengan penghiburan sempurna bagi Lidya Corry Si Anxious Achiever ini:

Weary children, be still and take heart

Every longing you feel is a cry

For the rest He has offered to all

Come to Him, for His burden is light

Do not fear, do not fear

The God who redeems you and ever will keep you is near

Do not fear

Happy New Year, everybody!

311222

Great Mountain, Great Lessons

Nice weather, bright skies, lovely people. Contrast to Prau, hiking Gede should be a bliss. In the middle of rain season, God had bless us with such a lovely weather for the entire 2 days of our hiking trip. Our guide and other participants were very nice and helpful. For this trip, I have prepared myself for almost two months by running 5k a day for 2 times a week. Prau has given me great lessons (to stay warm and alive), therefore I prepare my belongings better.

Gede should be a bliss, but I almost cried during my walk back to the basecamp. 

During the hike, I was so confident. I believe I can do better than what I did in Prau and reach the top in timely manner (?) The path was (((extremely))) hard, yet I grit my teeth and climb as fast as I can. I even left my friend behind, something that I should have not done considering that I told my friends that we should take care and protect each other. Yet I left them behind. Such a hypocrisy. 

Little did I know, the real deal is climbing down.

Due to the the steep and slippery track, my feet hurts SO MUCH while walking down the mountain. The journey took 6-7 hours: my body is so exhausted, my feet hurt, and I was so tired; but we gotta go home. At the last stop, one of my friend decided to took ojek to the basecamp. I was tempted, but my pride didn’t allow me to join her. We were taking quite a long rest there, but I really wanted to arrive at the basecamp asap. And once again, I left my friends. 

While walking down, so many thoughts crossed my mind. My body reached its maximum point of surviving and I really wanted to give up. Each and every steps grew weaker and heavier, but I couldn’t stop fearing that I will truly gave up. At that time, I was so “disappointed” of myself. I hated the fact that my body was not as fit as I thought. I got mad because I think my preparation were not enough. 

Which is very wrong.

I don’t know why I got angry to myself for not being able to climb down “successfully”. I don’t know why I am so ambitious only for climbing a mountain, as if my pride and worth is in line. I don’t know why it is still pretty hard for me to accept the fact that I am a human, and I can’t be perfect in at everything.

It is humiliating indeed for me to expose myself like this, but Gunung Gede taught me that I could not be good at everything, and it is okay. I’ll repeat it once again: It is okay not to be good at everything.

241122

While we’re here, allow me to post the memoirs of Gunung Gede, one of the best decision I’ve ever made.

My Ocean and Engines 

Malam ini sama seperti kemarin
Ketika aku pulang dan menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja
Aku tidak “biasa saja”
Lalu ku dengungkan lagu tentangnya
Berharap dia melihat sesuatu yang tidak terlihat
Lalu menerimanya
Lalu bahagia bersama
Tapi surga menolaknya

Malam ini sama seperti kemarin
Bahkan setelah tahun-tahun berlalu aku masih sama saja
Tidak tahu salah siapa,
Tapi harapannya ternyata masih menyala-nyala
Bagaimana mungkin satu kalimat saja, dan seluruh duniaku runtuh di depan mata?
Haruskah menanti? Atau berlari pergi?
Atau haruskah kembali berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak pernah ada apa-apa?

Malam ini sama seperti kemarin
Sendiri aku harus menghadapi rasa takutku
Menelan kembali harga diriku
Jadi ku rasa disinilah aku harus mengucapkan selamat tinggal
Dan aku tahu waktunya akan tiba
Ketika dengan hatiku aku mampu berkata
“Aku benar-benar baik-baik saja”

30.07.22

And I’m letting go
I’m givin’ up your ghost
It’s come to a close
I marked the end with this last song poem I wrote

(Ocean & Engines by NIKI)

The anxious achiever

“Consider the stars in the sky;
Look up and wonder, can you count their number?
Consider the stars in the sky;
Umbrella to hide in, a dance floor of heaven.
Do not be afraid
Do not be afraid”

(Consider The Stars – Keith & Kristyn Getty)

Hari minggu kemarin, pas latihan wawancara untuk seleksi substansi LPDP sama AKK gue, dia berpesan supaya gue belajar bisa berbaring dan tidur dengan aman karena percaya akan pemeliharaan Tuhan (Mazmur 4:8). Kemudian dengan jumawa-nya gue bilang sama dia kalau gue baik-baik saja, gue tidak merasa takut / khawatir berlebih seperti yang biasanya gue alami menjelang momen-momen penting. Gue bilang kalau gue tidak mengalami gerd atau vertigo yang biasanya gue alami ketika gue in distress.

Ternyata pernyataan gue adalah prematur.

Senin kemarin gue GERD seharian, padahal sudah sarapan dengan baik dan minum kopi sikit doang. Gue sadar, ini pasti karena rabu ini mau seleksi wawancara. I feel like a shit for the whole day, but managed to lead a book study at night by forcing myself to feel okay. Because I have to. I need to feel okay.

Pagi ini (hari selasa) ada rapat untuk project kantor yang mana gue adalah PIC-nya. Karena itu, sepanjang pagi pikiran gue fokus aja mikirin rapat tersebut. Selesai rapat udah makan siang, sambil makan siang gue memutuskan untuk riset tipis-tipis persiapan wawancara.

And here comes the anxiety attack.

Sepanjang riset gue deg-deg-an gak jelas. Makan siang jadi buru-buru tapi gatau kenapa. Selesai makan mencoba fokus baca artikel, tapi otak gue gak jalan. Akhirnya memutuskan dengerin lagu rohani biar tenang. Hasilnya? Gue malah menangis. Gue takut. Takut banget.

Sambil menangis akhirnya gue harus mengakui ketakutan, kegelisahan, dan kekhawatiran gue. Gue khawatir tidak bisa menghadapi wawancara dengan baik, gue takut tidak bisa menjawab pertanyaan dengan cemerlang, dan tentunya gue takut kalau-kalau gue tidak lulus seleksi. Only God knows how much I’m relying to this chance. I’m not pursuing master because of career advancement. This thought of having another goal in life is the savior from my anxiety. Ketika tahun lalu gue struggle dengan anxiety, konselor psikologi gue-lah yang menyarankan gue untuk merencanakan lanjut studi S2. Di titik itu, gue merasa seperti dapat revelation; new life goal, something to strive for. Suddenly, life makes sense. Sudah 1.5tahun gue merencanakan dan mempersiapkan diri, dan kenyataan bahwa it’s all coming down to this wednesday sangat menekan gue.

This opportunity means so much for me, and I could not say that “I got nothing to lose”. I don’t want to mess it up. I am so desperate.

Mengakui bahwa gue takut dan khawatir artinya juga mengakui bahwa I don’t have “that much” faith to God: that “all the way my Savior leads me”-type of mind. Realita janji-janji Tuhan dalam Alkitab seperti blur di hadapan gue and my anxiety. Lidya si paling beriman langsung berubah menjadi Lidya si paling anxious. Bahkan ketika gue sudah mewanti-wanti diri gue untuk tidak khawatir dan rest in God, gue harus menyerah dengan kelemahan gue yang satu ini.

Kadang gue bertanya-tanya apakah semua anxiety process ini neccessary. Apakah orang lain mengalami hal yang gue alami. Apakah gue aja yang berlebihan menanggapi momen-momen kayak gini. Apakah gue childish dan “cetek” karena harus mengalami hal sejenis ini. Apakah ada peserta seleksi lain yang menangis sebelum wawancara LPDP wkwkwk

There’ll be another in the fire
Standing next to me
There’ll be another in the waters
Holding back the seas
And should I ever need reminding
How good You’ve been to me
I’ll count the joy come every battle
‘Cause I know that’s where You’ll be

Another In The Fire – Hillsong United

Tapi akhirnya gue akan bersyukur karena momen nangis bombay gelay di depan laptop di kantor tadi, mengakui kelemahan dan ketakutan gue yang manusiawi di hadapan Tuhan. I’m no good, I’m no great. Karena memang bukan kekuatan atau kepinteran gue yang akan membuat gue mampu melewati obstacle ini, tapi belas kasihan dan pertolongan Tuhan. I know I’m not alone, because there’ll be another in the fire that standing next to me.

I might fail, but His perfect plan won’t.

And now I can rest sure.

“Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah– sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”

Mazmur 127:2

Soli Deo Gloria.

210622

Run Away

Early this year has been quite hell of a ride. Akhir tahun lalu benar-benar berusaha “ngebantai” kerjaan supaya awal tahun bisa agak senggang. Tapi ternyata hamba salah besar, karena Bulan Januari kemarin ternyata harus jadi panitia rapat kerja bagian dan rapat kerja biro berturut-turut. Seperti biasa, seorang Lidya yang perfeksionis dan gak bisa nyantai membiarkan dirinya stress sendiri sampai GERD kumat. Gue sudah berjanji sama diri sendiri bahwa akan langsung ambil cuti setelah kegiatan ini selesai. Namun malang tidak dapat ditolak untung tidak dapat diraih, sepulang raker gue menemukan adek gue kena covid-19. Langsung saja hamba mengabdikan diri merawat adik yang sedang sakit seorang diri karena mama sedang pulang kampung. Belum ada dua minggu, gantian mama yang kena covid-19. Waktu mama kena covid-19, gue langsung restless dan gelisah. Entah sedih, takut, atau kesal. Tiga hari kemudian, akhirnya gue juga kena covid-19. Baru minggu ini pulih, gue menemukan tumpukan pekerjaan menggunung di depan mata.

Tekanan demi tekanan yang bertubi-tubi ini membuat anxiety gue kumat lagi. Baru mau bangkit, eh beban lain datang lagi. Rasanya seperti gelombang besar menggulung gue ketika gue baru saja berhasil bangun. Hari demi hari struggling untuk setidaknya bisa melakukan satu hal yang berfaedah dan tidak cuma tidur-tiduran nonton youtube kayak tidak punya tujuan hidup. I feel so tired even though i barely do nothing. Tapi malamnya gue susah tidur karena “kurang capek”. Yaiyalah, seharian rebahan doang. 

Kemarin, tiba-tiba AKK chat dan nunjukin bahan saat teduhnya yang relatable sama pergumulan kami. Kami punya masalah anxiety yang kurang lebih sama, dan disebabkan oleh hal yang kurang lebih sama juga. Dari awal chat itu, akhirnya kami jadi cerita panjang lebar soal struggle kami dengan masalah ini. AKK gue sempet bilang: “gue escapist, bukan fighter kyk lo kak. dan harusnya lo bangga, ga semuanya bisa kyk lo”. Pas dia ngomong gitu, gue tertegun. Am I?

Sebelum tidur, gue nonton youtube karena belum ngantuk dan somehow menemukan video ini:

Video seorang penyanyi bernama Sunwoojunga menyanyikan lagunya yang berjudul “Run with Me”. Lagunya Bahasa Korea, dan tentu saja gue tidak mengerti tanpa baca terjemahannya. Tapi melodi dan cara Sunwoojunga menyanyikannya benar-benar menyayat hati. Kemudian gue dengar lagi lagu ini sambil baca translation lirik lagunya dalam Bahasa Inggris. 

And I broke down in tears. 

I realize, I really want to run away. Gue ingin lari, ingin kabur dari semua tekanan dan tuntutan yang ada. I feel so tired of fighting back. I don’t even know whats right and wrong. I just want to run away. Selama hidup yang gue tahu adalah gue harus berjuang, seringkali bukan untuk diri sendiri. Entah itu buat keluarga atau buat orang-orang yang gue layani di persekutuan. Kabur tidak pernah ada di dalam kamus hidup gue. Tapi kemarin malam gue kembali disadarkan betapa fragile-nya hidup ini. 

And it is okay. Even a fighter needs a hideout place. Being tired is okay. Run away when you need to. Take your time. Come back when you’re ready. 

가보는 거야 달려도 볼까
Let’s go. Should we run?
어디로든 어떻게든
To anywhere, in anyway
내가 옆에 있을게 마음껏 울어도 돼
I’ll be right by your side, you can cry your heart out, as much as you want
그 다음에
And after that,
돌아오자 씩씩하게
Let’s bravely come back
지쳐도 돼 내가 안아줄게
Being tired is okay, I will hug you
괜찮아 좀 느려도 천천히 걸어도
It’s okay even if it’s a little bit slow, even if we walk slowly
나만은 너랑 갈 거야 어디든
I’m the one who will go with you, anywhere

Run away, lid. And after that, let’s bravely come back. You’re doing great.

080322