Mengapa Sedih?

Buku biru yang baru dikeluarkan dari rak akhirnya harus dikembalikan lagi tanpa halamannya dibuka dan dibaca. Bukan sekali dua kali, mungkin sudah puluhan kali. Tapi rasa kecewanya sama. Biasanya pahitnya ditelan dan air matanya ditahan. Kemudian senyum dikembangkan. “Tidak apa-apa, bulan depan lebih baik.” Namun ketika peristiwanya berulang, rasanya tetap sama.

Mungkin pedihnya karena sudah berjuang, bersiap, berkorban; tapi yang disana tidak berpikir yang sama. Kamu menangis, tapi yang disana biasa-biasa saja. Memprioritaskan, tapi tidak diprioritaskan. Tapi ini sudah biasa. Dari tahun pertama juga sudah biasa. Semua juga mengalaminya.

Mungkin kita lelah atau bosan. Mungkin tidak seharusnya menahan yang tidak lagi bisa / ingin dipertahankan. Jangan memaksakan kehendak. Dunia tidak berputar di sekitarmu saja, bukan?

Dan pun ketika suatu saat ini semua berakhir, kita sudah melewati masa yang baik dan panjang. Semuanya menjadi memori dan bekal yg berarti. Tidak ada yang sia-sia. Semuanya berharga. Ketika saat itu tiba, aku tetap akan duduk disini. Memandangi zoom meeting yang kosong sambil tersenyum menanti dengan tangan yang terbuka. “Tidak apa-apa, bulan depan lebih baik.”

Terima kasih sudah bertahan dan berjuang.

290521

One Reply to “”

Leave a comment